A. Pendahuluan
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai
tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur
dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan tuntutan
dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu
seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan
kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas
lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada
mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah
menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan
bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut
untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi
senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh
melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
B. Hakekat Etos Kerja dalam Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap,
kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga
oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan,
pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini
dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau
nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut
terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara
optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang
sesempurna mungkin.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti
proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88).
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal
mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para
hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud
ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada
nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan
adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah)
kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Pengertian
Kerja
Kerja
dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik
dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa
Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan
melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari
nafkah.
KH.
Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu
upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia
memanusiakan dirinya.
Lebih
lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai
tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan
prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.
Di
dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan tentang aqidah dan keimanan
yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja
tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan
hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan
kerja sebagai suatu etika kerja positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak
kita temui ayat tentang kerja seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya :
1)
Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja)
di antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2)
Kata ‘amal (perbuatan) kita
temui sebanyak 17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3)
Kata wa’amiluu (mereka telah
mengerjakan) kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan
an-Nur: 55.
4)
Kata Ta’malun dan Ya’malun
seperti dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5)
Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum,
a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah.
Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8,
dan at-Tur: 21.
6)
Terdapat 27 kata ya’mal,
‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7,
Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7)
Disamping itu, banyak sekali
ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un,
siru fil ardhi ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat
tentang perintah berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan
merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang serta menjadi
ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada
juga ayat al-Qur’an yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya
firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
“
Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna
memelihara kamu dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam
surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
(al-Jumu’ah: 10)
Pengertian
kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh
pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian kerja secara khusus adalah setiap
potensi yang dikeluarkan manusia untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa
makanan, pakaian, tempat tinggal, dan peningkatan taraf hidup.
Inilah
pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini,
sedangkan bekerja dalam lingkup pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan
menerima upah baik bekerja harian, maupun bulanan dan sebagainya.
Pembatasan
seperti ini didasarkan pada realitas yang ada di negara-negara komunis maupun
kapitalis yang mengklasifikasikan masyarakat menjadi kelompok buruh dan
majikan, kondisi semacam ini pada akhirnya melahirkan kelas buruh yang
seringkali memunculkan konflik antara kelompok buruh atau pun pergerakan yang
menuntut adanya perbaikan situasi kerja, pekerja termasuk hak mereka.
Konsep
klasifikasi kerja yang sedemikian sempit ini sama sekali tidak dalam Islam,
konsep kerja yang diberikan Islam memiliki pengertian namun demikian jika
menghendaki penyempitan pengertian (dengan tidak memasukkan kategori
pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan aktivitas spiritual) maka
pengertian kerja dapat ditarik pada garis tengah, sehingga mencakup seluruh
jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan (upah), dalam pengertian ini
tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji tetap dari pemerintah,
perusahaan swasta, dan lembaga lainnya.
Pada
hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek
mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan
empat macam pekerja :
1)
al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit,
tukang kayu, dan para pemilik restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih
luas, seperti mereka yang bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2)
al-Muwadzofin: mereka yang secara legal mendapatkan gaji tetap seperti para
pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai negeri.
3)
al-Kasbah: para pekerja yang menutupi kebutuhan makanan sehari-hari
dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.
4)
al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum Islam,
diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW
bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya.
(HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar gaji
disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun kita
dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan
seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
C. Etika Kerja
dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai salah
seorang diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi
dan teliti).” (HR. al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas,
rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi
keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak
mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak
ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang
orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Penggunaan istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk
mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh
diangkatkan oleh Islam pada kedudukan terhormat.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya diperjelas
dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal bahwa
nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat pelakunya. Dalam sebuah
hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa
“sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang
tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi
seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu.
Nilai
suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman
Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan
menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
“
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian…” (al-Baqarah : 264)
Keterkaitan
ayat-ayat di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama
kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya.
Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek
kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri.
Bukan kaitannya dalam pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta
pengembangan umat manusia.
Perlu
kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut
sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan
barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai
tujuan akhir berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama,
yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh
oleh umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental
sepanjang zaman.
Jika
bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta
tidak diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena,
pekerjaan harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk
menjalankan seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki
muamalahnya. Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan
dengan masalah kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada
prinsip-prinsip Islam.
Adapun
hal-hal yang penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut :
- Adanya keterkaitan individu
terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi
apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di
akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan
bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan
Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis
rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang
pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali)
- Berusaha dengan cara yang halal
dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT :
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
- Dilarang memaksakan seseorang,
alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan
secara professional dan wajar.
- Islam tidak membolehkan
pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras,
riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
- Professionalisme yaitu
kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan
prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat
amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan
benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan
akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya
produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta kerusakan
alat-alat produksi
D. Kesimpulan
Ethos
kerja seorang muslim ialah semangat menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha
Allah SWT.
Etika
kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah
1)
Adanya keterkaitan individu terhadap
Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh
dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan
baik dengan relasinya.
2)
Berusaha dengan cara yang halal
dalam seluruh jenis pekerjaan.
3)
tidak memaksakan seseorang,
alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara
professional dan wajar.
4)
tidak melakukan pekerjaan yang
mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain
yang diharamkan Allah.
5)
Professionalisme dalam setiap
pekerjaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim,
1990, Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag RI.
Anonim,
1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam, Almadani.
Anonim,
1990, Mengangkat Kualitas Hidup Umat, Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
KH.
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja, Jakarta : Gema Insani.
Quraish
Shihab, 1998, Wawasan al-Qur’an, Jakarta : Mizan.
Asnan
Syafi’I Wagino, Menabur Mutiara Hikmah, Jakarta : Mizan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar