Minggu, 02 Juni 2013

Kode Etik dalam Pers



Pelanggaran Dan Sanksi
Kode Etik Profesi Wartawan Atau Pers

Berikut ini contoh-contoh kasus pelanggaran yang dilakukan wartawan (pers) dan pernah terjadi :
1.      Imajiner Sumber berita
2.      Identitas dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat
3.      Sumber Tidak Paham Makna "Off the Record"
4.      Tidak Memperhatikan Kredibilitas Narasumber
5.      Melanggar Hak Properti Pribadi
6.      Menyiarkan Gambar Ilustrasi Sembarangan
7.      Wawancara Fiktif
8.      Tidak Memakai Akal Sehat (Common Sense)
9.      Sumber Berita Tidak Jelas
10. Tidak Melayani Hak Jawab Secara Benar
                                                                                                            



Pengertian Pers
Apa bedanya jurnalistik dengan pers? Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers seolah sama atau bisa dipertukarkan satu sama lain.Sesungguhnya tidak, jurnalistik menujuk pada proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian jurnalistik pers berarti proseskegaitan mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat danmenyebarkan berita melalui media berkala pers yakni sura kabar, tabloid ataumajalah kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.





Pengertian Pers
Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak (printed publication).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Contoh Pelanggaran Kode Etik Pers
1.      Pemberitaan kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV One
Menurut Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said, Selasa, saat diskusi Bedah Kasus Kode Etik Jurnalistik di Gedung Dewan Pers, indikasi pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberitaan yang kurang berimbang karena hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian saja. Selain itu, Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber sekunder saja, misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama.
Pasal yang dilanggar oleh divisi berita TV One dalam menyiarkan pemberitaan Antasari – Rani adalah Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dalam kasus di atas, wartawan TV One hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian, tidak menggunakan data dari narasumber utama yaitu Antasari atau Rani.
2.      Kasus wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di Surabaya menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M Top. Untuk meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya, hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi, belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias fiktif karena tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu sedang sakit tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan keterangan panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan dari harian ini memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang disangka teroris itu dan tidak pernah ada wawancara sama sekali.
Wartawan dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal 4. Pasal 2 bernunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan tersebut tidak menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang jelas, bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara dan berita yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen media. Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan. Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi diragukan.
3.      Kasus bentrok saptol PP dengan warga memperebutkan makam Mbah Priok belum usai. Banyak hal bisa dilihat dari kasus ini, di antaranya soal bagaimana televisi menyiarkan kasus ini. Saat terjadi bentrok, banyak televisi menyiarkan secara langsung. Adegan berdarah itupun bisa disaksikan dengan telanjang mata tanpa melalui proses editing.
Penyiaran langsung gambar korban bentrokan di Koja, Tanjung Priok, merupakan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Gambar korban berdarah-darah dikategorikan sebagai berita sadis, dan tidak semua konsumen media dapat menerimanya. Pihak keluarga korban yang kebetulan sedang menonton televise pun bisa menerima dampak psikologis atau traumatis jika melihat kerabatnya mengalami luka yang mengenaskan.
4.      Selain kasus bentrokan di Koja, pemberitaan lain yang memuat gambar sadis dan melanggar Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik adalah pemberitaan tentang ledakan bom di Hotel Ritz-Carlton dan JW Mariott, Kuningan, bulan Juli tahun lalu. Pada siaran langsung suasana tenpat kejadian beberapa saat setelah bom meledak, Metro TV memuat gambar Tim Mackay, Presiden Direktur PT Holcim Indonesia, yang berdarah-darah dan tampak tidak beradaya, di jalanan. Penanyangan gambar tersebut tentu tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalisitk dan dapat menimbulkan dampak traumatis bagi penonton yang melihat.







TINDAKAN SOEKARNO PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Demokrasi Terpimpin (1959-1965) pada Masa Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia. Pada periode pemerintahan Indonesia tahun 1959-1965 kekuasaan didominasi oleh Presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan makin meluasnya peranan TNI/Polri sebagai unsure sosial poltik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik dengan melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Pada masa demokrasi terpimpin banyak terjadi penyelewengan terhadap Pancasila danUUD 1945 antara lain pembentukan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), Tap.MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, pembubaran DPR hasil pemilu oleh Presiden, pengankatan ketua DPRGR/MPRS menjadi menteri negara oleh Presiden dan sebagainya. Dalam demokrasi terpimpin, apabila tidak terjadi mufakat dalam sidang DPR, maka permasalahan itu diserahkan kepada Presidensebagai pemimpin besar revolusi untuk diputuskan sendiri (lihat Peraturan Tata TertibPeraturan Presiden No. 14 Tahun 1960 dalam hal anggota DPR tidak mencapai mufakat). Dengan demikian, rakyat/wakil rakyat yang dududk dalam lembaga legislative tidak mempunyai peranan yang penting dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin. Akhirnya, pemerintahan Orde Lama beserta demokrasi terpimpinnya jatuh setelah terjadinya peristiwaG-30-S/PKI 1965 dengan diikuti krisis ekonomi yang cukup parah.
 
KEPEMIMPINAN POLITIK 
Para pemimpin berasal dari angkatan 1928 danangkatan 1945 dengan tokoh politik Soekarno sebagaititik dan pusatnya. Kepemimpinan tokoh politik ini berdasar pada politik mencari Kambing hitam. Karenasifatnya kharismatik dan paternalistik, tokoh politik inidapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungandari pihak-pihak bertikai, baik dengan sukarela maupun karena terpaksa. Dengan dial ektika, pihak yang kurang kemampuannya akan tersingkir dari gelanggang politik dan yang kuat akan merajainya. Gimnastik politik inilebih menguntungkan PKI.

1.      Diktatornya Soekarno
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada masa demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi terpimpin Soekarno bertindak seperti seorangdiktator, hampir semua kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif  berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir Alisyahbana menyamakan Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya sebagai inkarnasi tuhan atau wakil tuhan di dunia. Dekrit tersebut dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun ini.
Selain itu banyak lagi tindakan yang menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir. Soekarno sebagai Prseiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti Dewan Perwakilan Rakyat pilihan ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrol ditiadakan.
Lagipula pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden disamping fungsi sebagai sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin trias politica. Dalam rangka ini harus pula dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964 dan di bidang legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14/1960 dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat. Hal tersebut kemudian menjadikan kaburnya batas-batas wewenang antara badan eksekutif dan legislatif, keduanya seolah-olah dirangkap oleh presiden.
Akibatnya fungsi dan peranan MPRS dan DPR-GR hilang. Apalagi pada waktu itu menteri-menteri diperbolehkan menjabat sebagai ketua MPRS, DPR-GR, DPA dan MA. MPRS dan DPR-GR yang seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat yang bertugas sebagai lembaga negara yang mengawasi jalannya pemerintahan pada akhirnya tunduk kepada kebijaksanaan-kebijaksanaan presiden. Demokrasi terpimpin ialah hypen pendek demokrasi yang tidak didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme-nasional, facisme, dan komunisme, tetapi suatu faham demokrasi yang didasarkan keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, menuju satu tujuan yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17Agustus 1945.
Akan tetapi dalam prakteknya, apa yang dinamakan dengan demokrasi terpimpin yang mempunyai tujuan yang luhur ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen. Sebaliknya sistem ini sangat jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya. Dalam prakteknya yang memimpin demokrasi ini bukan pancasila sebagaiman dicanangkan tetapi sang pemimpinnya sendiri. Akibatnya demokrasi yang dijalankan tidak lagi berdasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia tetapi berdasarkan keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi politik pemimpinnya sendiri
Dalam periode Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang Pancasilais. Kekuatan politik pada Demokrasi Terpimpin terpusat di tangan Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI di sampingnya. Ajaran Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) ciptaan Presiden Soekarno sangat menguntungkan PKI. Ajaran Nasakom menempatkan PKI sebagai unsur yang sah dalam konstelasi politik Indonesia. Dengan demikian kedudukan PKI semakin kuat PKI semakin meningkatkan kegiatannya dengan berbagai isu yang memberi citra sebagai partai yang paling manipolis dan pendukung Bung Karno yang paling setia. Selama masa Demokrasi Terpimpin, PKI terus melaksanakan program-programnya secara revolusioner. Bahkan mampu menguasai konstelasi politik. Puncak kegiatan PKI adalah melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang sah pada tanggal 30 September 1965 .

2.      Politik Luar Negeri Masa Demokrasi Terpimpin
Politik luar negeri masa Demokrasi Terpimpin lebih condong ke blok Timur.Indonesia banyak melakukan kerja sama dengan negara-negara blok komunis, seperti UniSoviet, RRC, Kamboja, maupun Vietnam. Berikut ini beberapa contoh pelaksanaan politik luar negeri masa Demokrasi Terpimpin.

1.      Oldefo dan Nefo
Oldefo (The Old Established Forces), yaitu dunia lama yang sudah mapan ekonominya,khususnya negara-negara Barat yang kapitalis. Nefo (The New Emerging Forces), yaitu negara-negara baru. Indonesia menjauhkan diri dari negara-negara kapitalis (blok oldefo) danmenjalin kerja sama dengan negara-negara komunis (blok nefo). Hal ini terlihat dengan terbentuknya Poros Jakarta – Peking (Indonesia – Cina) dan Poros Jakarta – Pnom Penh – Hanoi – Peking – Pyongyang ( Indonesia – Kamboja – Vietnam Utara - Cina – Korea Utara).
2.      Konfrontasi dengan Malaysia
Pada tahun 1961 muncul rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak, Brunei, dan Sabah. Rencana tersebutditentang oleh Presiden Soekarno karena dianggap sebagai proyek neokolonialisme dan dapat membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai. Keberatan atas pembentukan Federasi Malaysia juga muncul dari Filipina yang mengklaim daerah Sabah sebagai wilayahnegaranya.
 
Pada tanggal 9 Juli 1963 Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman menandatangani dokumen tentang pembentukan Federasi Malaysia. Kemudian, tanggal 16 September 1963 pemerintah Malaya memproklamasikan berdirinya Federasi Malaysia. Menghadapi tindakan Malaysia tersebut, Indonesia mengambil kebijakan konfrontasi. Pada tanggal 17 September 1963 hubungan diplomatik antara dua negara putus. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1964Presiden Soekarno mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), isinya:
a.       perhebat ketahanan revolusi Indonesia, dan
b.      bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei untuk memerdekakan diri dan menggagalkan negara boneka Malaysia. Di tengah situasi konflik Indonesia - Malaysia, Malaysia dicalonkan sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Masalah ini mendapat reaksi keras dari Presiden Soekarno. Namun akhirnya Malaysia tetap terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Terpilihnya Malaysia tersebut mendorong Indonesia keluar dari PBB. Secara resmi Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965. Sistem demokrasi terpimpin ini diambil oleh Presiden Soekarno karena alasan bahwa pada saat demokrasi liberal rakyat Indonesia belum siap menerima kebebasan berpolitik sehingga hasilnya hanya akan mengancam integrasi NKRI sehingga rakyat Indonesia padasaat itu harus dipimpin dalam berdemokrasi yang disebut dengan system demokrasi Terpimpin yang juga memulai pemerintahan otoriter presiden Soekarno. Pada saat ini kebebasan berpolitik sangat terkekang. Dengan kekuasaan Negara yang berpusat di tangan Presiden Soekarno, semua sector politik dikendalikan olehnya. Banyak penyimpangan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno dalam pemerintahan otoriternya ini, diantaranya adalah:
1.      Ketua MPRS ada yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi menteri Negara, sehingga ini mengindikasikan bahwa MPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif tidak  berfungsi dan bahkan MPR menjadi pembantu presiden yang sebagai kedudukannya sebagai menteri itu.
2.      Pembubaran DPR resmi yang terbentuk dari hasil Pemilu 1955 yang diakibatkan karena DPR tidak menyetujui RAPBN yang diajukan pemerintah sehingga Presiden Soekarno membubarkan DPR pada tahun 1960 yang digantikan oleh DPRGR yang merupakan DPR bentukan Presiden Soekarno yang hak budgetnya tidak berfungsi selama Presiden Soekarno berkuasa.
3.      Pengangkatan presiden seumur hidup dengan tap MPRS no 3/MPRS/1963 yang bertentangan dengan UUD 1945 yang menerangkan bahwa jabatan presiden selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali.
4.      Pembentukan politik poros-porosan yang menyalahi politik luar negeri Indonesia yaitu politik bebas aktif. Ini antaranya dengan pembentukan poros Jakarta-Beijing, Jakarta-Pyong yang, Jakarta-Hanoi, dll.
5.      Konfrontasi dengan Malaysia. Yang disebabkan dengan pembentukan Negara serikatMalaysia oleh Inggris yang dianggap dapat membahayakan posisi Indonesia oleh Inggris.
6.      Keluarnya Indonesia dari PBB pada 7 Januari 1965 yang diakibatkan oleh dipilihnya Malaysia menjadi dewan keamanan tidak tetap PBB.Hal-hal tersebut memuncak dengan diadakannya kudeta oleh pasukan Cakrabirawa atau pasukan pengawal Presiden yang dimotori oleh PKI pada tanggal 30 September 1965. Kudeta itu melancarkan penculikan terhadap jendral-jendral TNI yang dianggapnya dapat merintangi jalannya untuk merebut kekuasaan. Tetapi dengan kesaktian Pancasila dan TNI yang masih setia kepada Pancasila, pemberontakan itu dapat ditumpas sehingga keutuhan NKRI masih dapat terjaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar