Pelanggaran Dan Sanksi
Kode Etik Profesi
Wartawan Atau Pers
Berikut ini
contoh-contoh kasus pelanggaran yang dilakukan wartawan (pers) dan pernah
terjadi :
1.
Imajiner Sumber
berita
2. Identitas
dan Foto Korban Susila Anak-Anak Dimuat
3. Sumber
Tidak Paham Makna "Off the Record"
4. Tidak
Memperhatikan Kredibilitas Narasumber
5. Melanggar
Hak Properti Pribadi
6. Menyiarkan
Gambar Ilustrasi Sembarangan
7. Wawancara
Fiktif
8. Tidak
Memakai Akal Sehat (Common Sense)
9. Sumber
Berita Tidak Jelas
10. Tidak
Melayani Hak Jawab Secara Benar
Pengertian Pers
Apa bedanya jurnalistik dengan pers?
Dalam pandangan orang awam, jurnalistik dan pers seolah sama atau bisa
dipertukarkan satu sama lain.Sesungguhnya tidak, jurnalistik menujuk pada
proses kegiatan, sedangkan pers berhubungan dengan media. Dengan demikian
jurnalistik pers berarti proseskegaitan mencari, menggali, mengumpulkan,
mengolah, memuat danmenyebarkan berita melalui media berkala pers yakni sura
kabar, tabloid ataumajalah kepada khalayak seluas-luasnya dengan
secepat-cepatnya.
Pengertian Pers
Istilah “pers” berasal dari
bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers
berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran secara tercetak atau
publikasi secara dicetak (printed publication).
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua
pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit.
Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti
radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkan informasi,
berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada
orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik
televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan
produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar
harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal
sebagai media cetak.
Contoh
Pelanggaran Kode Etik Pers
1. Pemberitaan
kasus Antasari yang melibatkan wanita bernama Rani oleh TV One
Menurut
Penasehat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Tribuana Said, Selasa, saat
diskusi Bedah Kasus Kode Etik Jurnalistik di Gedung Dewan Pers, indikasi
pelanggaran tersebut dapat dilihat dari pemberitaan yang kurang berimbang
karena hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian saja. Selain itu,
Tribuana menambahkan, narasumber yang dipakai hanya narasumber sekunder saja,
misalnya keluarga Rani dan tetangga Rani, bukan dari narasumber utama.
Pasal yang
dilanggar oleh divisi berita TV One dalam menyiarkan pemberitaan Antasari –
Rani adalah Pasal 3: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan
secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah. Dalam kasus di atas, wartawan TV One
hanya menggunakan pernyataan dari pihak kepolisian, tidak menggunakan data dari
narasumber utama yaitu Antasari atau Rani.
2. Kasus
wawancara fiktif terjadi di Surabaya. Seorang wartawan harian di Surabaya
menurunkan berita hasil wawancaranya dengan seorang isteri Nurdin M Top. Untuk
meyakinkan kepada publiknya, sang wartawan sampai mendeskripsikan bagaimana
wawancara itu terjadi. Karena berasal dari sumber yang katanya terpercaya,
hasil wawancara tersebut tentu saja menjadi perhatian masyarakat luas. Tetapi,
belakangan terungkap, ternyata wawancara tersebut palsu alias fiktif karena
tidak pernah dilakukan sama sekali. Isteri Nurdin M Top kala itu sedang sakit
tenggorokkan sehingga untuk berbicara saja sulit, apalagi memberikan keterangan
panjang lebar seperti laporan wawancara tersebut. Wartawan dari harian ini
memang tidak pernah bersua dengan isteri orang yang disangka teroris itu dan
tidak pernah ada wawancara sama sekali.
Wartawan
dalam kasus di atas melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 dan Pasal 4. Pasal
2 bernunyi: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam
melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4 berbunyi: Wartawan Indonesia tidak
membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Wartawan tersebut tidak
menggunakan cara yang professional dalam menjalankan tugasnya. Ia tidak
menyebarkan berita yang faktual dan tidak menggunakan narasumber yang jelas,
bahkan narasumber yang digunakan dalah narasumber fiktif. Wawancara dan berita
yang dipublikasikannya merupakan kebohongan. Tentu ini merugikan konsumen
media. Pembaca mengkonsumsi media untuk memperoleh kebenaran, bukan kebohongan.
Kredibilitas harian tempat wartawan tersebut bekerja juga sudah tentu menjadi
diragukan.
3. Kasus
bentrok saptol PP dengan warga memperebutkan makam Mbah Priok belum usai.
Banyak hal bisa dilihat dari kasus ini, di antaranya soal bagaimana televisi
menyiarkan kasus ini. Saat terjadi bentrok, banyak televisi menyiarkan secara
langsung. Adegan berdarah itupun bisa disaksikan dengan telanjang mata tanpa
melalui proses editing.
Penyiaran
langsung gambar korban bentrokan di Koja, Tanjung Priok, merupakan pelanggaran
Kode Etik Jurnalistik Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong,
fitnah, sadis, dan cabul.
Gambar korban
berdarah-darah dikategorikan sebagai berita sadis, dan tidak semua konsumen
media dapat menerimanya. Pihak keluarga korban yang kebetulan sedang menonton
televise pun bisa menerima dampak psikologis atau traumatis jika melihat
kerabatnya mengalami luka yang mengenaskan.
4. Selain
kasus bentrokan di Koja, pemberitaan lain yang memuat gambar sadis dan
melanggar Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik adalah pemberitaan tentang ledakan bom
di Hotel Ritz-Carlton dan JW Mariott, Kuningan, bulan Juli tahun lalu. Pada
siaran langsung suasana tenpat kejadian beberapa saat setelah bom meledak,
Metro TV memuat gambar Tim Mackay, Presiden Direktur PT Holcim Indonesia, yang
berdarah-darah dan tampak tidak beradaya, di jalanan. Penanyangan gambar
tersebut tentu tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalisitk dan dapat menimbulkan
dampak traumatis bagi penonton yang melihat.
TINDAKAN
SOEKARNO PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Demokrasi Terpimpin (1959-1965) pada
Masa Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di
Indonesia. Pada periode
pemerintahan Indonesia tahun 1959-1965 kekuasaan didominasi oleh Presiden,
terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan makin meluasnya
peranan TNI/Polri sebagai unsure sosial poltik. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk
mencari jalan keluar dari kemacetan politik dengan melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat. Pada masa demokrasi terpimpin banyak terjadi
penyelewengan terhadap Pancasila danUUD
1945 antara lain pembentukan Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), Tap.MPRS
No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup, pembubaran DPR hasil pemilu oleh Presiden,
pengankatan ketua DPRGR/MPRS menjadi menteri negara oleh Presiden dan
sebagainya. Dalam demokrasi terpimpin, apabila tidak terjadi mufakat dalam sidang DPR, maka
permasalahan itu diserahkan kepada Presidensebagai pemimpin besar revolusi
untuk diputuskan sendiri (lihat Peraturan Tata TertibPeraturan Presiden No. 14 Tahun 1960 dalam hal
anggota DPR tidak mencapai mufakat). Dengan
demikian, rakyat/wakil rakyat yang dududk dalam lembaga legislative tidak mempunyai peranan yang penting dalam pelaksanaan
demokrasi terpimpin. Akhirnya, pemerintahan
Orde Lama beserta demokrasi terpimpinnya jatuh setelah terjadinya peristiwaG-30-S/PKI
1965 dengan diikuti krisis ekonomi yang cukup parah.
KEPEMIMPINAN
POLITIK
Para pemimpin
berasal dari angkatan 1928 danangkatan 1945 dengan tokoh politik Soekarno
sebagaititik dan
pusatnya. Kepemimpinan tokoh politik ini berdasar pada politik mencari Kambing hitam.
Karenasifatnya kharismatik dan paternalistik, tokoh politik inidapat menengahi
dan kemudian memperoleh dukungandari pihak-pihak bertikai, baik dengan sukarela
maupun karena terpaksa. Dengan dial ektika, pihak yang kurang kemampuannya akan
tersingkir dari gelanggang politik dan yang kuat akan merajainya. Gimnastik politik inilebih menguntungkan PKI.
1.
Diktatornya
Soekarno
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden
5 Juli 1959, Indonesia jatuh pada masa demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi
terpimpin Soekarno bertindak seperti seorangdiktator,
hampir semua kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif berada pada kekuasaannya. Sutan Takdir
Alisyahbana menyamakan Soekarno dengan raja-raja kuno yang mengklaim dirinya
sebagai inkarnasi tuhan atau wakil tuhan di dunia. Dekrit tersebut dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan
keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat.
Undang-Undang Dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden
untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS
No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima
tahun ini.
Selain itu banyak lagi tindakan yang
menyimpang dari ketentuan Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam tahun 1960 Ir.
Soekarno sebagai Prseiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan Umum, padahal dalam
penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai
wewenang untuk berbuat demikian.Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong yang mengganti
Dewan Perwakilan Rakyat pilihan
ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah sedangkan fungsi kontrol ditiadakan.
Lagipula pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu
presiden disamping fungsi sebagai sebagai wakil rakyat. Hal terakhir ini mencerminkan
telah ditinggalkannya doktrin trias politica. Dalam rangka ini harus pula dilihat
beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif.
Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif
berdasarkan Undang-Undang No. 19/1964 dan di bidang
legislatif berdasarkan Peraturan Tata Tertib Peraturan Presiden No. 14/1960
dalam hal anggota Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencapai mufakat. Hal tersebut kemudian menjadikan kaburnya
batas-batas wewenang antara badan eksekutif dan legislatif, keduanya
seolah-olah dirangkap oleh presiden.
Akibatnya fungsi dan peranan MPRS dan DPR-GR hilang.
Apalagi pada waktu itu menteri-menteri diperbolehkan menjabat sebagai ketua
MPRS, DPR-GR, DPA dan MA. MPRS dan DPR-GR
yang seharusnya menjadi lembaga perwakilan rakyat yang bertugas sebagai lembaga negara yang
mengawasi jalannya pemerintahan pada akhirnya tunduk kepada
kebijaksanaan-kebijaksanaan presiden. Demokrasi terpimpin ialah hypen pendek
demokrasi yang tidak didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme-nasional,
facisme, dan komunisme, tetapi suatu faham demokrasi yang didasarkan keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia
seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, menuju satu tujuan
yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh
dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17Agustus
1945.
Akan tetapi dalam prakteknya, apa yang dinamakan dengan
demokrasi terpimpin yang mempunyai tujuan
yang luhur ini tidak pernah dilaksanakan secara konsekuen. Sebaliknya sistem
ini sangat jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya. Dalam prakteknya yang
memimpin demokrasi ini bukan pancasila sebagaiman dicanangkan tetapi
sang pemimpinnya sendiri. Akibatnya demokrasi yang dijalankan tidak lagi
berdasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia
tetapi berdasarkan keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi politik pemimpinnya sendiri
Dalam periode Demokrasi Terpimpin,
Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang Pancasilais.
Kekuatan politik pada Demokrasi Terpimpin
terpusat di tangan Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI di sampingnya. Ajaran Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) ciptaan
Presiden Soekarno sangat menguntungkan
PKI. Ajaran Nasakom menempatkan PKI sebagai unsur yang sah dalam konstelasi politik Indonesia. Dengan demikian
kedudukan PKI semakin kuat PKI semakin meningkatkan kegiatannya dengan
berbagai isu yang memberi citra sebagai partai yang paling manipolis dan
pendukung Bung Karno yang paling setia. Selama masa Demokrasi Terpimpin, PKI terus melaksanakan program-programnya secara
revolusioner. Bahkan mampu menguasai
konstelasi politik. Puncak kegiatan PKI adalah melakukan kudeta terhadap pemerintahan
yang sah pada tanggal 30 September 1965 .
2.
Politik Luar
Negeri Masa Demokrasi Terpimpin
Politik luar negeri masa Demokrasi Terpimpin lebih
condong ke blok Timur.Indonesia
banyak melakukan kerja sama dengan negara-negara blok komunis, seperti
UniSoviet, RRC, Kamboja, maupun Vietnam. Berikut ini beberapa contoh
pelaksanaan politik luar negeri masa Demokrasi
Terpimpin.
1.
Oldefo dan
Nefo
Oldefo (The Old Established Forces),
yaitu dunia lama yang sudah mapan ekonominya,khususnya negara-negara Barat yang
kapitalis. Nefo (The New Emerging Forces), yaitu negara-negara
baru. Indonesia menjauhkan diri dari negara-negara kapitalis (blok oldefo) danmenjalin kerja sama dengan negara-negara komunis
(blok nefo). Hal ini terlihat dengan terbentuknya
Poros Jakarta – Peking (Indonesia – Cina) dan Poros Jakarta – Pnom Penh – Hanoi
– Peking – Pyongyang ( Indonesia – Kamboja – Vietnam Utara - Cina – Korea
Utara).
2.
Konfrontasi
dengan Malaysia
Pada tahun 1961 muncul rencana
pembentukan negara Federasi Malaysia yang terdiri dari Persekutuan Tanah Melayu, Singapura,
Serawak, Brunei, dan Sabah. Rencana tersebutditentang
oleh Presiden Soekarno karena dianggap sebagai proyek neokolonialisme dan dapat
membahayakan revolusi Indonesia yang belum selesai. Keberatan atas pembentukan
Federasi Malaysia juga muncul dari Filipina
yang mengklaim daerah Sabah sebagai wilayahnegaranya.
Pada tanggal 9 Juli 1963 Perdana Menteri Tengku Abdul
Rahman menandatangani dokumen tentang pembentukan Federasi Malaysia. Kemudian,
tanggal 16 September 1963 pemerintah Malaya
memproklamasikan berdirinya Federasi Malaysia. Menghadapi tindakan Malaysia tersebut, Indonesia mengambil kebijakan
konfrontasi. Pada tanggal 17 September 1963 hubungan diplomatik antara dua
negara putus. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1964Presiden Soekarno
mengeluarkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora), isinya:
a.
perhebat
ketahanan revolusi Indonesia, dan
b.
bantu
perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei untuk memerdekakan diri dan menggagalkan negara boneka
Malaysia. Di tengah situasi konflik Indonesia - Malaysia, Malaysia dicalonkan
sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB.
Masalah ini
mendapat reaksi keras dari Presiden Soekarno. Namun akhirnya Malaysia tetap terpilih sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB. Terpilihnya Malaysia tersebut mendorong Indonesia keluar dari PBB. Secara resmi
Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965. Sistem demokrasi
terpimpin ini diambil oleh Presiden Soekarno karena alasan bahwa pada saat demokrasi liberal rakyat Indonesia
belum siap menerima kebebasan berpolitik sehingga hasilnya hanya akan
mengancam integrasi NKRI sehingga rakyat Indonesia padasaat itu harus dipimpin dalam berdemokrasi yang
disebut dengan system demokrasi Terpimpin
yang juga memulai pemerintahan otoriter presiden Soekarno. Pada saat ini kebebasan berpolitik sangat terkekang. Dengan
kekuasaan Negara yang berpusat di tangan Presiden Soekarno, semua sector
politik dikendalikan olehnya. Banyak penyimpangan yang dilakukan oleh
Presiden Soekarno dalam pemerintahan otoriternya ini, diantaranya adalah:
1.
Ketua MPRS ada
yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi menteri Negara, sehingga ini
mengindikasikan bahwa MPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif tidak berfungsi
dan bahkan MPR menjadi pembantu presiden yang sebagai kedudukannya sebagai menteri itu.
2.
Pembubaran DPR
resmi yang terbentuk dari hasil Pemilu 1955 yang diakibatkan karena DPR tidak
menyetujui RAPBN yang diajukan pemerintah sehingga Presiden Soekarno membubarkan DPR pada tahun 1960 yang
digantikan oleh DPRGR yang merupakan DPR bentukan Presiden Soekarno yang hak budgetnya tidak
berfungsi selama Presiden Soekarno
berkuasa.
3.
Pengangkatan
presiden seumur hidup dengan tap MPRS no 3/MPRS/1963 yang bertentangan
dengan UUD 1945 yang menerangkan bahwa jabatan presiden selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali.
4.
Pembentukan
politik poros-porosan yang menyalahi politik luar negeri Indonesia
yaitu politik bebas aktif. Ini antaranya dengan pembentukan poros
Jakarta-Beijing, Jakarta-Pyong yang, Jakarta-Hanoi, dll.
5.
Konfrontasi
dengan Malaysia. Yang disebabkan dengan pembentukan Negara serikatMalaysia oleh Inggris yang dianggap dapat membahayakan
posisi Indonesia oleh Inggris.
6.
Keluarnya
Indonesia dari PBB pada 7 Januari 1965 yang diakibatkan oleh dipilihnya Malaysia menjadi dewan keamanan tidak tetap PBB.Hal-hal tersebut memuncak dengan diadakannya
kudeta oleh pasukan Cakrabirawa atau pasukan pengawal Presiden yang dimotori
oleh PKI pada tanggal 30 September 1965. Kudeta itu melancarkan penculikan
terhadap jendral-jendral TNI yang dianggapnya dapat merintangi jalannya untuk
merebut kekuasaan. Tetapi dengan kesaktian Pancasila dan TNI yang masih setia
kepada Pancasila, pemberontakan itu dapat ditumpas sehingga keutuhan NKRI
masih dapat terjaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar